Melankolis Menulis
Dulu, waktu SMP, saat saya lagi naksir seorang cowok, ada saja hal-hal yang saya tuangkan ke dalam puisi, atau bahkan cerpen. Semuanya terasa mudah, untuk bercerita pada selembar kertas, atau buku tebal yang sekarang sudah penuh oleh coretan-coretan saya sewaktu SMP. Hmm, ini bukan karena faktor cowok tersebut, tapi menurut saya, ini karena faktor melankolis saya yang saat itu menonjol sekali. Tiap hari, saya bisa bikin puisi, temanya juga ada ada saja, ga melulu soal cinta..
Beranjak SMA, jiwa mellow saya masih ada. Dengan adanya laptop, saya semakin menggila menuangkan segala inspirasi saya, bukan lagi ke kertas, tapi langsung ke layar. Saya mengetik cerpen, yang saya susun berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan hasilnya lumayan. Juga ada salah satu cerpen yang sebenarnya kisah nyata, yang saya kumpulkan sebagai tugas mengarang di sekolah. Saat itu, begitu banyak pikiran masuk ke otak saya, membuat saya terus menciptakan cerpen baru, dan alhasil banyak cerpen yang tidak punya akhir (karena tidak terselesaikan).
Sekarang..
Susah sekali rasanya menulis, bahkan untuk memulai mengetik paragraf pertama dalam suatu tulisan. Mungkin otak saya sudah tak mampu menerima rangsangan imajinasi untuk membuat puisi atau cerpen. Saya sudah terperangkap dalam dunia teknik yang membisukan jiwa melankolis saya.
Berat rasanya, meninggalkan kesenangan masa lalu. Dan saya juga semakin menyesal, saat mahasiswa seperti sekarang, saat lagi banyak lomba-lomba karya tulis ilmiah, jiwa menulis saya sudah memudar. Sayang sekali. Untuk itulah, saya bertekad untuk mengembalikan kenangan + kesenangan masa lalu, membudayakan menulis, karena saya rindu saat saat saya bisa berimajinasi tanpa batas..
0 comments:
Post a Comment